Serikat Pekerja
MENGENAL PEJUANG KEADILAN
Sesi 5 (4.b): Serikat Pekerja
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
PENDAHULUAN
Pekerja buruh sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan dalam hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam satu organisasi, serta mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Hak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak asasi pekerja/buruh yang telah dijamin di dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan hak tersebut, kepada setiap pekerja/buruh harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Serikat pekerja/serikat buruh berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Dalam menggunakan hal tersebut, pekerja/buruh dituntut bertanggung jawab untuk menjamin kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan bangsa dan negara. Oleh karena itu, penggunaan hak tersebut dilaksanakan dalam kerangka hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.
Hak berserikat bagi pekerja/buruh, sebagaimana diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi, dan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar Daripada Hak Untuk Beroragnisasi dan Untuk Berunding Bersama sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional.
Pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha yang sangat penting dalam proses produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya, menjamin kelangsungan perusahaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh dan menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Oleh karena itu, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki rasa tanggung jawab atas kelangsungan perusahaan dan sebaiknya pengusaha harus memperlakukan pekerja/buruh sebagai mitra sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Masyarakat pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pengusaha di Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia yang sedang menuju era pasar bebas. Untuk menghadapi hal tersebut, semua pelaku dalam proses produksi perlu bersatu dan menumbuhkembangkan sikap profesional. Di samping itu, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh perlu menyadari pentingnya tanggung jawab yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya dalam membangun bangsa dan negara.
Serikat pekerja/serikat buruh didirikan secara bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab oleh pekerja/buruh untuk memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya.
Dalam pembentukan serikat pekerja/serikat buruh dapat menggunakan nama yang berbeda seperti antara lain perkumpulan pekerja/perkumpulan buruh, organisasi pekerja/organisasi buruh, sebagaimana diatur dalam ketentuan undang-undang ini.
SEJARAH Serikat Pekerja di Indonesia
Gerakan Serikat Pekerja (SP) pertamakali terbentuk di Indonesia pada abad ke 19, diawali dengan lahirnya Nederland Indische Onderwys Genootschap (NIOG) atau Serikat Pekerja Guru Hindia Belanda pada tahun 1879 yang dipengaruhi oleh pergerakan sosial demokrat di Belanda. Setelah itu lahir beberapa SP lainnya seperti; Pos Bond (serikat pekerja pos) 1905, Cultuur Bond dan Zuiker Bond (serikat pekerja perkebunan dan pekerja gula) 1906, serikat pekerja pemerintah 1907, serta Spoor Bond (serikat pekerja kereta api) 1913 organisasi ini berkembang menjadi militan, ketika berada di bawah pimpinan Semaun dan Sneevliet. Kedua tokoh itu tercatat sebagai tokoh gerakan radikal di Jawa pada masa selanjutnya, dan sampai tahun 1920-an, nama mereka masih sering terdengar di kalangan pergerakan. Organisasi-organisasi buruh di Indonesia sendiri, pada saat itu terutama berakar pada sektor transportasi dan perkebunan. Mereka memerankan bagian penting dalam serangkaian babak perjuangan kemerdekaan negeri yang penuh kekerasan. Organisasi-organisasi buruh ini mendahului partai-partai politik dan beragam organisasi massa lain.
Pada masa itu, para pekerja pribumi di berbagai perusahaan dan kantor swasta serta pemerintah mulai mempunyai gagasan untuk mendirikan SP pribumi sendiri tanpa warga negara asing. Timbulnya gagasan tersebut dipicu oleh perkembangan yang terjadi di sektor jasa dan perdagangan yang mulai tumbuh saat itu, sehingga kemudian mendorong para pekerja pribumi tersebut untuk memperjuangkan hak-hak serta kepentingan-kepentingannya seperti; syarat dan kondisi kerja, kesehatan, keselamatan kerja, upah, jaminan sosial, kesejahteraan, dan lain-lain. Namun demikian, usaha tersebut ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharapkannya, sebab sejak awal para pekerja selalu dihalangi oleh para majikannya, misalnya dengan cara memperpanjang jam kerja serta mengabaikan hak-hak para pekerja sehingga membuat kesempatan mereka untuk berserikat menjadi sulit. Karena itu, hubungan kerja antara majikan-pekerja pada masa kolonial ini berjalan konfrontatif, di mana majikan menolak untuk melakukan perundingan kolektif.
Era tahun 1945 setelah kemerdekaan Republik Indonesia ditandai dengan diratifikasinya sejumlah Konvensi ILO oleh pemerintah Indonesia. Sejumlah undang-undang juga lahir sebagai bentuk ratifikasi dari konvensi tersebut. Secara umum, peraturan ketenagakerjaan yang ada pada masa ini cenderung memberi jaminan sosial dan perlindungan kepada buruh. Ini dapat dilihat dari beberapa peraturan di bidang perburuhan yang diundangkan pada masa ini. Sumbangan bagi keberhasilan mencapai kemerdekaan pada masa revolusi fisik (1945-1949), menjamin gerakan buruh mendapat tempat atau posisi yang baik setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Hal ini tampak khususnya dalam pembuatan kebijakan dan hukum perburuhan di Indonesia. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika pada masa awal kemerdekaan Indonesia ada beberapa peraturan hukum perburuhan yang bisa disebut progresif atau maju, dalam arti sangat protektif atau melindungi kaum buruh.
Pada 19 September 1945 terbentuklah Barisan Buruh Indonesia (BBI) dengan tujuan ikut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena tujuannya bersifat umum, semua serikat buruh dianggap menjadi anggota BBI. Pada kongres di Solo, 17 November 1945, BBI mengalami perpecahan dalam dua kubu, yang ingin menjadi partai politik dan yang tetap bergerak di bidang sosial ekonomi. Kubu kedua ini kemudian mengadakan kongres di Madiun pada 21 Mei 1946, di mana mereka mendirikan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI) dengan tujuan meningkatkan taraf hidup anggotanya. Dalam perjalanannya GASBI bergabung dengan Gabungan Serikat Buruh Vertikal (GASBEV) pada 29 November 1946, dan berganti nama menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Pada tahun 1950-an lahir sekitar 150 serikat buruh di tingkat nasional, ratusan serikat buruh lokal dan tujuh federasi serikat buruh. Dasar dan asasnya beraneka ragam, tetapi program dan kegiatannya dititikberatkan di bidang politik sehingga melupakan tugas utamanya membela dan memajukan kepentingan umum buruh. Dalam masa liberal tersebut, jumlah partai politik berkembang dengan pesat. Banyak partai politik ikut mendirikan serikat buruh sebagai onderbouwdengan maksud mengumpulkan jumlah anggota sebanyak- banyaknya guna memperoleh suara dalam pemilihan umum 1955. Itu dimungkinkan dengan keluarnya Peraturan Menteri Perburuhan No. 90 Tahun 1955 tentang Pendaftaran Serikat Buruh yang sifatnya liberalistik.
Menurut peraturan tersebut, pendirian serikat buruh syaratnya sangat ringan, cukup memiliki anggaran dasar, susunan pengurus dan daftar nama anggota tanpa ketentuan minimumnya, seperti jumlah anggota, luas wilayah atau perangkat organisasi. Pada umumnya tuntutan buruh dalam tahun 1950-an adalah mengenai :
1. Kenaikan upah dan tunjangan-tunjangan;
2. Perbaikan syarat-syarat kerja;
3. Perbaikan jaminan sosial;
4. Gratifikasi dan hadiah;
5. Pembatalan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pemindahan kerja;
6. Pelaksanaan peraturan-peraturan pemerintah;
7. Pengakuan serikat buruh;
8. Pembayaran upah selama mogok;
9. Penghapusan peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif; dan
10. Pelaksanaan perjanjian-perjanjian perburuhan.
Pada masa setelah itu, disahkanlah Undang-Undang No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan. Undang-undang itu mengakui keberadaan serikat buruh dalam pembuatan perjanjian perburuhan. Selain itu, juga disahkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dengan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1958, undang-undang perjanjian perselisihan itu dinyatakan mulai berlaku sejak 1 Juni 1958. Kasus yang muncul dalam perselisihan buruh sebagian besar masih merupakan perselisihan normatif dan berkaitan dengan upah.
Berikut adalah beberapa peraturan atau undang-undang ketenagakerjaan di masa pemerintahan Soekarno, 1945 sampai dengan 1966 :
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang Kerja 1948 No. 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia;
2. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan 1948 No. 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia;
3. Undang-Undang No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja;
4. Undang-Undang No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan;
5. Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
6. Undang-Undang No. 18 Tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 98 mengenai Dasar-dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama; dan
7. Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta.
Era Orde Baru, Era ini diawali dengan terjadinya perubahan kekuasaan politik pada pertengahan 1960-an, yang dikenal sebagai era Pemerintahan Orde Baru. Masalah yang dihadapi Indonesia pada tahun 1966 dan 1967 cukup berat, terutama dalam hal penciptaan kesempatan kerja. Pada era ini pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap 1 telah dimulai. Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I telah dimulai dengan melakukan berbagai usaha jangka pendek di bidang tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja. Peraturan dan perundangan ketenagakerjaan yang disusun dan diundangkan sepanjang era ini adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja;
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, undang-undang ini membebankan secara langsung kewajiban-kewajiban untuk usaha pencegahan kecelakaan (keselamatan kerja) pada tempat-tempat kerja maupun para pekerjanya;
3. Undang-Undang No. 2 Tahun 1971 tentang Kecelakaan Kerja, jaminan kecelakaan kerja ikut diatur di dalam undang-undang ini; dan
4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Di samping pelaksanaan survei pengupahan, pada 1971 telah dibentuk pula Dewan Penelitian Pengupahan Nasional. Tugas lembaga ini memberi pertimbanganpertimbangan kepada pemerintah tentang kebijakan pengupahan yang sebaiknya ditempuh, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sedang di daerah-daerah yang terdapat banyak usaha-usaha industri dibentuk pula, Dewan Penelitian Pengupahan Daerah.
Memasuki masa Pembangunan Lima Tahun II, secara perlahan mulai terlihat ada perubahan cara pemerintah menangani sistem ketenagakerjaan. Ada beberapa hal yang menonjol seperti :
• Kebijakan industrialisasi yang dijalankan pemerintah Orde Baru juga mengimbangi kebijakan yang menempatkan stabilitas nasional sebagai tujuan dengan menjalankan industrial peace khususnya sejak awal Pelita III (1979-1983), menggunakan sarana yang diistilahkan dengan HPP (Hubungan Perburuhan Pancasila).
• Serikat pekerja ditunggalkan dalam SPSI (lihat di bawah). Kendati Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 mengenai Pelaksanaan Prinsip-prinsip dari Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama, serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. 8/EDRN/1974 dan No. 1/MEN/1975 perihal Pembentukan Serikat Pekerja/Buruh di Perusahaan Swasta dan Pendaftaran Organisasi Buruh, kebebasan berserikat tidak sepenuhnya dilaksanakan pemerintah pada saat itu.
Era reformasi Era ini dimulai dari gerakan reformasi pada 1998 sebagai reaksi terhadap krisis ekonomi, kondisi sosial dan politik yang diakibatkan karena berbagai sebab yang kompleks, termasuk membengkaknya utang luar negeri, kredit perbankan yang tidak terkendali, pemusatan kekuasaan eksekutif, kolusikorupsi-nepotisme (KKN), ekonomi biaya tinggi, dan konglomerasi usaha. Selain itu, reformasi juga didorong semangat deregulasi, privatisasi, liberalisasi ekonomi pasar, makin tingginya kesadaran akan hak-asasi manusia dan tuntutan demokratisasi.
Dalam era reformasi ini dihasilkan beberapa undang-undang yang dinilai dapat memperbaiki iklim demokrasi dalam sistem perburuhan di Indonesia, unadang-undang tersebut antara lain :
1. UndangUndang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menggantikan sebanyak 15 peraturan ketenagakerjaan
3. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang efektif diberlakukan sejak 14 Januari 2006
Upaya pemerintah untuk memberikan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi buruh selanjutnya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Hak berserikat dan berkumpul mendapat perhatian yang besar dari pemerintah. Terdapat norma perlindungan hak berserikat yang dituangkan dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2000.
PENGERTIAN / ARTI
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.
Serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/serikat yang tidak bekerja di perusahaan.
Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh.
Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat pekerja/serikat buruh.
TUJUAN Serikat Pekerja
memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/serikat dan keluarganya.
FUNGSI Serikat Pekerja
a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggungjawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan;
PEMBENTUKAN Serikat Pekerja
1. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
2. Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh.
KEANGGOTAAN
– Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku agama, dan jenis kelamin.
– Seorang pekerja/buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan.
PEMBERITAHUAN DAN PENCATATAN
Serikat pekerja/serikat buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat.
HAK DAN KEWAJIBAN
1. Serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak :
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
2. Serikat pekerja/serikat buruh dapat berafiliasi dan/atau bekerja sama dengan serikat pekerja/serikat buruh internasional dan/atau organisasi internasional lainnya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban :
a. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya;
b. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya;
c. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
TINDAK PIDANA
Pasal 43
(1) Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 28
Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara :
a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
dari berbagai sumber
Mencerahkan, , pemaparan yang Lengkappp.
izin bertnya Pak,
berjuang di bawah naungan Serikat, dan berjuang dengn cara Single Fight untuk pemenuhan hak Pekerja di perusahaan itu memang signifikan yah Pak perbedaan nya?
Terus apakah Perusahaan Wajib mengakui keberadaan Serikat pekerja ? bgmana jika perusahaan tidak ingin berafiliasi dengan serikat pekerja?
1. Perjuangan secara pribadi maupun bersama serikat tidak banyak perbedaannya, karena semua perjuangan tergantung dar diri kita atau pergerakan serikat.
2. Perusahaan yang baik, wajib mengakui adanya serikat, dan seharusnya antara serikat dan perusahaan adalah mitra yang saling membutuhkan.
sejarah gerakan yang cukup ispiratif…