Batas Antara Kritik Dan Penghinaan Di Era Digital


(Penulis: Tiarma Simanjuntak)

Di era digital yang terbuka, batasan antara kritik dan hinaan sering kali kabur, terutama di media sosial dan platform daring lainnya. Dari perspektif hukum, kritik merupakan bentuk ekspresi yang dilindungi, asalkan disampaikan dengan tujuan yang membangun dan berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Kritik yang sehat berperan dalam demokrasi dengan memberikan masukan yang membangun bagi individu, lembaga, atau pemerintah. Sebaliknya, hinaan cenderung berupa serangan personal yang merendahkan martabat seseorang tanpa dasar yang jelas, sering kali disertai unsur pencemaran nama baik atau ujaran kebencian. Di banyak yurisdiksi, termasuk Indonesia, penghinaan dapat dikenakan sanksi hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Oleh karena itu, dalam kebebasan berekspresi di era digital, penting bagi masyarakat untuk memahami perbedaan ini agar dapat menyampaikan pendapatnya tanpa melanggar hukum dan tetap menjaga etika komunikasi di ruang publik.
Penerapan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE kerap menimbulkan kontroversi karena sifatnya yang multitafsir. Pasal ini kerap disebut sebagai “pasal karet” karena tidak memiliki definisi yang jelas mengenai pencemaran nama baik, sehingga membuka peluang subjektivitas dalam penegakan hukum. Alhasil, aturan ini kerap disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap pejabat publik, padahal dalam sistem demokrasi, kebebasan berekspresi merupakan hak fundamental yang dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945. Kritik yang didasarkan pada fakta, penilaian kebijakan, atau kepentingan publik seharusnya tidak dianggap sebagai bentuk penghinaan atau pencemaran nama baik, namun penerapan UU ITE kerap kali menghambat kebebasan berekspresi. Sebagai bentuk reformasi hukum, perubahan Pasal 27 ayat (3) menjadi Pasal 27A dalam UU No. 1 Tahun 2024 merupakan langkah positif yang bertujuan untuk mengurangi ancaman pidana dan memperjelas batasan antara pelanggaran dan pencemaran nama baik. Selain itu, keberadaan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri menjadi pedoman penting dalam penerapan UU ITE, yang menegaskan bahwa kritik yang didasarkan pada penilaian atau kepentingan publik tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran. Diharapkan dengan adanya pedoman ini, aparat penegak hukum akan memiliki standar yang lebih objektif dan jelas dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan kebebasan berekspresi di ruang digital.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami perbedaan antara kritik dan pelanggaran untuk menghindari tuntutan hukum. Kritik merupakan bentuk penilaian yang didasarkan pada fakta dan bertujuan secara konstruktif untuk memperbaiki kebijakan atau kinerja pejabat publik. Kritik disampaikan dengan bahasa yang beradab, tidak merusak kehormatan pribadi seseorang, dan relevan dengan isu publik. Sebaliknya, penghinaan lebih subjektif dan tidak memiliki dasar fakta yang jelas. Penghinaan bertujuan untuk menyerang atau menyerang seseorang secara pribadi, sering kali menggunakan bahasa atau hinaan yang kasar, dan tidak memiliki relevansi dengan kepentingan publik. Oleh karena itu, kritik yang didasarkan pada fakta dan kepentingan publik harus dilindungi, sementara penghinaan yang menyerang individu secara pribadi tetap harus dihindari. Kesimpulannya, kebebasan ditekankan untuk dijamin sebagai pilar demokrasi yang kuat, tetapi perlu ada regulasi yang jelas untuk membedakan antara kritik yang sah dan penghinaan yang tidak dapat dibenarkan. Standardisasi hukum yang lebih transparan dan tidak multitafsir menjadi langkah penting agar kebebasan berekspresi tetap terjaga tanpa mengabaikan perlindungan bagi individu. Selain itu, edukasi kepada masyarakat mengenai batasan antara kritik dan pelanggaran perlu terus digalakkan agar ruang digital tetap menjadi tempat yang sehat untuk menyampaikan pendapat tanpa takut akan kriminalisasi yang berlebihan. Dengan regulasi yang lebih adil dan edukasi yang lebih baik, diharapkan hukum dapat menjadi instrumen yang menegakkan keadilan secara proporsional, bukan sebagai alat untuk membungkam suara rakyat.
Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang lebih adil dan tidak diskriminatif, perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan Pasal 27A UU No. 1 Tahun 2024 agar tidak menjadi alat represif bagi pihak-pihak tertentu. Selain itu, aparat penegak hukum harus memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai batasan-batasan kebebasan berekspresi agar tidak serta merta mengkriminalisasi kritik yang membangun. Hal ini dapat diwujudkan melalui pelatihan intensif bagi aparat penegak hukum mengenai prinsip-prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi dan standar-standar hak asasi manusia internasional.

Di sisi lain, peran masyarakat sipil dan media massa juga sangat penting dalam mengawal pelaksanaan UU ITE agar tetap berada dalam koridor demokrasi dan tidak disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis. Partisipasi aktif masyarakat dalam diskusi publik, advokasi hukum, dan peliputan perlindungan izin akan menjadi ancaman utama dalam menjaga kebebasan berekspresi di ruang digital. Dengan kontrol sosial yang kuat, potensi munculnya pasal-pasal dalam UU ITE dapat diminimalisir.
Selanjutnya, reformasi kebijakan di ranah digital tidak hanya terbatas pada regulasi saja, tetapi juga harus mencakup penguatan literasi digital bagi masyarakat. Literasi digital yang baik akan membantu masyarakat memahami hak dan kewajibannya dalam berekspresi di ruang digital, termasuk bagaimana menyampaikan kritik secara konstruktif dan memahami akibat hukum dari ujaran yang disampaikannya. Kampanye literasi digital dapat dilakukan melalui berbagai platform, baik melalui lembaga pendidikan, komunitas, maupun media sosial yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain itu, kerja sama antara pemerintah, pakar sejarah, dan organisasi masyarakat sipil dalam melakukan kajian hukum yang berkelanjutan juga perlu diperkuat. Dengan demikian, regulasi yang diterapkan dapat terus dievaluasi dan disesuaikan dengan dinamika sosial dan perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat. Pendekatan berbasis bukti dalam menentukan kebijakan akan memastikan bahwa aturan yang dibuat benar-benar mampu menjamin keseimbangan antara perlindungan individu dan kebebasan berekspresi.
Sebagai penutup, penyempurnaan regulasi dalam UU ITE harus terus dilakukan dengan langkah konkret untuk memastikan kebebasan yang terkandung tetap terlindungi. Dengan standar hukum yang lebih jelas, edukasi kepada masyarakat, dan pengawasan yang ketat terhadap penerapan aturan, diharapkan ruang digital di Indonesia dapat menjadi tempat yang aman dan demokratis bagi semua pihak untuk menyampaikan aspirasi dan kritik yang membangun. Dengan demikian, hukum bukan hanya sebagai alat untuk menjaga ketertiban, tetapi juga sebagai instrumen yang menjamin hak-hak dasar warga negara dalam demokrasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Opini

Previous article

Penyusunan Perancangan Kontrak