DP 5 Persen, Diam 10 Tahun, Lalu Menggugat: Celah Hukum Properti yang Mengancam Pemilik Sah Oeh  suara hati pemilik property

Bayangkan Anda menjual sebidang tanah di pinggiran kota sepuluh tahun lalu. Seorang calon pembeli datang dengan itikad baik, menyerahkan uang muka lima persen, dan menandatangani perjanjian sederhana. Tak ada tenggat waktu pelunasan. Tak ada sanksi jika tidak dilanjutkan. Lalu ia menghilang.
Sepuluh tahun berlalu. Anda rawat tanah itu, bangun rumah, bahkan manfaatkan sebagai homestay untuk tambahan penghasilan. Tapi suatu hari, orang itu kembali. Ia membawa salinan perjanjian, bukti transfer, dan… ancaman gugatan.
Inilah kenyataan hukum properti Indonesia hari ini—di mana janji lama yang menggantung bisa berubah menjadi senjata hukum untuk menyandera pemilik sah.
Spekulasi Properti Berkedok Legalitas
Kasus seperti ini tidak hanya terjadi sekali dua kali. Di banyak daerah berkembang—dari pinggiran Jakarta hingga kota-kota kecil yang tengah tumbuh—muncul pola yang mencemaskan. Para spekulan menyetor DP kecil, membuat ikatan jual beli seadanya, lalu menghilang. Ketika nilai properti naik, mereka muncul lagi, lengkap dengan pengacara dan dokumen lama yang belum pernah dibatalkan secara hukum.
Mereka menggugat. Bahkan melapor ke polisi. Padahal, mereka tidak pernah menunjukkan itikad baik untuk melunasi atau menyelesaikan proses jual beli. Yang mereka bawa bukan niat, melainkan strategi menunggu waktu yang menguntungkan.
Hukum yang Tidak Mengenal Waktu
Masalah utamanya: hukum kita belum peka terhadap waktu dan niat. Perjanjian yang tidak mencantumkan batas waktu pelunasan bisa bertahan selamanya, menjadi bom waktu bagi pemilik.
Padahal, dalam hukum perdata, kontrak adalah soal timbal balik: niat, pelaksanaan, dan keadilan. Bila satu pihak menghilang selama bertahun-tahun, logikanya, haknya pun gugur. Tapi dalam praktik, hukum sering kali hanya membaca teks—bukan konteks.
Tiga Langkah Mendesak
Untuk menutup celah ini, negara perlu bertindak. Setidaknya, ada tiga hal yang perlu diperjuangkan:
1.Wajib ada tenggat waktu dalam semua perjanjian jual beli informal. Tanpa itu, kontrak harus dianggap tidak sah setelah jangka waktu tertentu.
2.Pihak pasif yang tidak menunjukkan niat menyelesaikan transaksi harus kehilangan hak klaim. Bukan justru diberi panggung hukum untuk menyerang.
3.Penegak hukum harus bisa memilah motif gugatan. Jangan sampai laporan pidana jadi alat tekanan spekulatif.
Keadilan Bukan Sekadar Dokumen
Keadilan tidak boleh berpihak pada mereka yang hanya menyimpan kwitansi, lalu menunggu harga naik. Keadilan harus berpihak pada mereka yang bertindak, menjaga, dan menanggung risiko selama bertahun-tahun.
Jika celah ini dibiarkan, siapa pun bisa menjadi korban. Dan hukum tidak lagi melindungi—melainkan menyandera.

Tanggapan

Sebenarnya dalam peristiwa hukum ini, kedua belah pihak tidak akan mengalami keuntungan dan ini merupakan sengketa perdata yaitu wanprestasi dan bukan pidana, karena diawali dari perjanjian namun belum selesai sepenuhnya, yaitu ada kesepakatan namun peralihan hak kepemilikan belum terjadi

Sebagaimana yang kita tahu, pada dasarnya setiap perjanjian harus memenuhi empat syarat agar danggap sah sebagaimaa Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kesepakatan, dari para pihak yang cakap, tentang sesuatu hal dan hal tersebut tidak dilarang, dan perjanjian property dianggap sah, meski belum lunas berdasarkan Pasal 1458 KUH Perdata. Namun kepemilikan belum beralih selama Penjual (A) belum menyerahkan propertynya kepada pembelii (B) berdasarkan pasal 1459 KUH Perdata, apalagi jual beli property yang harus balik nama sertifikat kepemilikan antara penjual ke pembeli.

Solusi yang dapat di berikan adalah, kedua belah pihak melakukan msyawarah dan membicarakan Solusi, nnamun jikda tidak mendaatkan soluasi yang adil, maka dapat diselesaikan melakui pengadilan

Salam Pejuang Keadilan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *