Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak PT. Pertamina
Opini Hukum Oleh : Advokat Heribertus Roy Juan, S.H., M.H.
I. PENDAHULUAN
– Kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, subholding-nya, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018–2023 telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun.
– Kasus ini melibatkan jajaran direksi anak usaha Pertamina, yaitu Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS), Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS), Direktur PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi (YK), dan Vice President Feedstock Management PT KPI AgusPurwono (AP), serta pihak swasta, termasuk beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR), Komisaris PT Navigator Khatulistiwa Dimas Werhaspati (DW), dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede (GRJ).
– Kerugian tersebut terdiri dari ekspor minyak mentah dalam negeri yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan domestik senilai Rp35 triliun, pembelian minyak mentah dan produk kilang dengan harga mark-up melalui broker senilai Rp11,7 triliun, serta dampak meningkatnya biaya kompensasi dan subsidi BBM yang ditanggung APBN pada 2023 senilai Rp147 triliun.
– Berdasarkan informasi yang telah disampaikan oleh Kejaksaan Agung RI, terdapat sejumlah tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh para tersangka, yang berimplikasi pada tingginya beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karena itu, opini hukum ini akan mengkaji aspek yuridis dari kasus tersebut dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
II. PERMASALAHAN HUKUM
1. Apakah perbuatan yang dilakukan para tersangka dalam kasus ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana pertanggungjawaban hukum bagi para pelaku yang terlibat dalam kasus ini?
3. Apa saja konsekuensi hukum terhadap kebijakan impor minyak mentah yang dilakukan secara tidak sah?
III. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 2 Ayat (1), berbunyi : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp200.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000.”
Pasal 3, yang berbunyi : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000.”
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Pasal 3 ayat (1), berbunyi :”Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.”
(Pasal ini menggarisbawahi prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang harus dipatuhi, sehingga kerugian akibatkorupsi berdampak serius pada keuangan negara.)
II. ANALISIS YURIDIS
A. Unsur Tindak Pidana Korupsi
– Berdasarkan kronologi kasus, para tersangka Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS), Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS), Direktur PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi (YK), dan Vice President Feedstock Management PT KPI Agus Purwono (AP) melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir untuk menurunkan produksi kilang minyak dalam negeri, sehingga kebutuhan minyak dipenuhi melalui impor.
– Produksi minyak mentah dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan domestik ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak ekonomis, lalu diekspor, yang kemudian memicu impor minyak mentah dan produk kilang dengan harga lebih tinggi.
Tindakan ini memenuhi unsur Pasal 2 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yaitu perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, serta merugikan keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun.
– Selain itu, perbuatan ini juga memenuhi unsur Pasal 3, yakni penyalahgunaan kewenangan atau jabatan untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain, yang terbukti dari manipulasi pengadaan dan kerja sama dengan broker seperti pihak swasta, termasuk beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR), Komisaris PT Navigator Khatulistiwa Dimas Werhaspati (DW), dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede (GRJ).
– Tersangka Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) juga melakukan pengadaan produk kilang dengan membeli Ron 90 (Pertalite) tetapi mencatatnya sebagai Ron 92 (Pertamax), lalu melakukan blending di depo untuk menjadi Ron 92, yang jelas melanggar ketentuan.
– Sementara itu, Tersangka Direktur PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi (YK) melakukan mark-up harga impor minyak mentah dan produk kilang sebesar 13–15%, menguntungkan broker PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR). Tindakan ini semakin memperkuat adanya perbuatan korupsi yang terorganisasi.
B. Pertanggungjawaban Hukum
– Para tersangka dapat dijerat dengan sanksi pidana berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup, serta denda antara Rp50 juta hingga Rp1 miliar. Sanksi tambahan berupa perampasan aset dan kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun dapat dikenakan berdasarkan Pasal 18 UU, yang berbunyi sebagai berikut :
“(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.”
– Mengingat keterlibatan pejabat publik, sanksi pencabutan hak politik tertentu, seperti larangan menduduki jabatan publik, juga dapat diterapkan sesuai Pasal 18 Ayat (1) Huruf d.
C. Dampak Kebijakan Impor Minyak Mentah dan Produk Kilang yang Melawan Hukum
– Kebijakan impor yang dilakukan secara ilegal melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah Akibatnya, harga dasar impor yang tinggi meningkatkan Harga Indeks Pasar (HIP) BBM, sehingga beban subsidi dan kompensasi BBM dalam APBN melonjak hingga Rp 147 triliun pada 2023.
III. IMPLIKASI HUKUM DAN REKOMENDASI
A. Sanksi Pidana
Para tersangka dalam kasus ini dapat dijerat dengan pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000.” Dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup serta denda maksimal Rp 1 miliar.
B. Pemulihan Keuangan Negara
Dalam rangka pemulihan keuangan negara akibat tindakan korupsi ini, Kejaksaan Agung dapat melakukan:
● Penyitaan dan perampasan aset para tersangka sesuai dengan Pasal 18 UU Pemberantasan Korupsi.
C. Penguatan Tata Kelola dan Pengawasan
Kasus ini menunjukkan perlunya perbaikan dalam tata kelola pengadaan minyak di Pertamina dan lembaga terkait. Oleh karena itu, perlu dilakukan:
1. Audit menyeluruh oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sistem pengadaan minyak di BUMN sektor energi.
2. Revisi kebijakan impor minyak mentah agar lebih transparan dan berbasis kebutuhan riil.
3. Penegakan etika dan standar integritas di jajaran direksi dan manajemen BUMN untuk mencegah kasus serupa di masa mendatang.
IV. KESIMPULAN
Kasus korupsi tata kelola minyak di PT Pertamina menunjukkan adanya praktik penyalahgunaan wewenang, manipulasi harga, dan persekongkolan antara pejabat BUMN dan pihak swasta yang merugikan negara dalam jumlah sangat besar. Berdasarkan analisis yuridis, perbuatan para tersangka memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penting bagi aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus ini dengan tegas, serta melakukan upaya pemulihan kerugian negara melalui mekanisme penyitaan aset.
Selain itu, diperlukan reformasi sistem pengadaan minyak dan peningkatan transparansi dalam tata kelola energi nasional guna mencegah kejadian serupa di masa depan.
Catatan :
1. menerima pendapat hukum, kirim ke sahardjolaw@gmail.com ; akan di tampilkan di website sahardjo.com dan fb page https://www.facebook.com/sahardjolawfirm
2. WAG Pejuang Keadilan : https://chat.whatsapp.com/HRWKVhh4EJUDp9Nco6mWFq
3. Info Admin https://wa.me/6282132592360