Mengawal Hak-hak Perempuan Dalam Perkawinan


Oleh : Tiarma Simanjuntak

Perempuan Indonesia telah menempuh perjalanan panjang dalam memperjuangkan hak-haknya dalam perkawinan. Di era modern ini, meskipun kemajuan telah dicapai, masih terdapat kesenjangan antara regulasi dan realita. Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa perempuan masih mengalami diskriminasi dalam perkawinan? Mengapa suami masih dianggap sebagai pemimpin rumah tangga?
Artikel ini akan mengupas hak-hak perempuan dalam perkawinan berdasarkan kesetaraan gender, serta upaya yang perlu dilakukan untuk mencapainya.
Meskipun banyak kemajuan telah dicapai dalam memperjuangkan kesetaraan gender, anggapan bahwa suami adalah pemimpin rumah tangga masih tertanam kuat di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan, seperti budaya, ekonomi, dan hukum.
Faktor-faktor utama yang biasa mempengaruhi adalah:
1. Tradisi dan budaya patriarki: Di banyak budaya, peran laki-laki diposisikan sebagai pemimpin dan pencari nafkah, sedangkan perempuan berfokus pada urusan domestik. Tradisi ini tertanam kuat dan diwariskan antar generasi.
2. Stereotip gender: Perempuan sering distereotipkan sebagai sosok yang lemah dan emosional, sedangkan laki-laki dianggap kuat dan rasional. Stereotip ini memengaruhi persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga.
3. Ketidaksetaraan ekonomi: Di beberapa negara, perempuan masih memiliki akses yang lebih terbatas terhadap pendidikan dan pekerjaan. Hal ini menyebabkan ketergantungan finansial pada suami, yang kemudian memperkuat anggapan bahwa suami adalah pemimpin.
4. Keterbatasan edukasi dan pemahaman hukum: Kurangnya edukasi dan pemahaman tentang hakhak perempuan dalam perkawinan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, dapat memperkuat anggapan tradisional tentang peran gender.
Maka dengan hal itu menimbulkan dampak yang sangat besar dalam rumah tangga
1. Anggapan bahwa suami adalah pemimpin rumah tangga.
2. Membatasi hak dan otonomi perempuan: Perempuan mungkin tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan, pendidikan, dan karirnya.
3. Meningkatkan risiko KDRT: Ketidakseimbangan power dalam hubungan dapat memicu kekerasan fisik dan emosional.
4. Menghambat kemajuan kesetaraan gender: Perempuan tidak dapat mencapai potensi penuhnya jika peran mereka dibatasi dalam lingkup domestik.
Adapun Landasan hukum utama terkait hak-hak perempuan dalam perkawinan di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Hak ini diperkuat dalam UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Hak-Hak Perempuan dalam Perkawinan:
Berdasarkan prinsip kesetaraan gender, perempuan memiliki hak-hak berikut dalam perkawinan:
1. Kebebasan dalam memilih pasangan yang artinya perempuan memiliki hak untuk menentukan dan menerima pinangan berdasarkan pilihan bebas, tanpa tekanan dan paksaan.
2. Kesetaran dalam pengambilan Keputusan yang artinya pasangan suami istri harus Bersama-sama mengambil Keputusan terkait rumah tangga, keuangan dan Pendidikan anak.
3. Hak atas Pendidikan dan pengembangan diri yang artinya perempuan berhak untuk melanjutkan Pendidikan dan pengembangan karier tanpa dihalangi oleh suami.
4. Hak atas nafkah yang artinya suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anakanaknya
5. Pengelolahan harta Bersama yang artinya suami dan istri memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam pengelolahan harta Bersama selama perkawinan,
6. Hak reproduksi artiya perempuan memiliki hak untuk menentukan dan mengontrol kesuburannya, termasuk hak untuk menolak hubungan seksual dan hak untuk merencanakan kehamilan
Hak-hak perempuan dalam perkawinan tidak hanya tercantum dalam UUD 1945, tetapi juga dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Meskipun regulasi telah menjamin hak-hak perempuan, masih terdapat hambatan dalam implementasinya. Faktor-faktor seperti budaya patriarki, diskriminasi, dan kurangnya akses terhadap informasi dan layanan hukum menjadi penghambat utama.
Upaya kolektif dari berbagai pihak, seperti pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga keagamaan, diperlukan untuk mengatasi hambatan tersebut. Beberapa langkah yang dapat dilakukan:
1. Sosialisasi dan edukasi hukum: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak perempuan dalam perkawinan.
2. Penguatan penegakan hukum: Menindak tegas pelanggaran hak-hak perempuan dalam perkawinan.
3. Pemberdayaan perempuan: Memberikan pelatihan dan pendampingan kepada perempuan untuk memperkuat pengetahuan dan kapasitas mereka dalam memperjuangkan hak-haknya.
4. Perubahan pola piker yang artinya Melawan stereotip gender dan mendorong peran yang lebih seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga.
Perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan hak perempuan dalam perkawinan masih berlanjut. Kolaborasi dan komitmen dari semua pihak sangatlah penting untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender yang sejati dalam institusi perkawinan di Indonesia.
Untuk hal itu, mari bersama-sama kita dukung perjuangan perempuan dalam mencapai kesetaraan hak dalam perkawinan. “Masa depan yang adil dan sejahtera hanya dapat diraih dengan kesetaraan gender yang sejati.”

 

info & konsultasi : 082132592360

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *