Legalitas Debt Collector
A. Pendahuluan
Belum lama ini kita dihebohkan dengan kasus penagihan utang yang viral di media sosial. Kasus tersebut viral lantaran terdapat seorang Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) yang merupakan anggota Polri yang melaksanakan Polmas di masyarakat dimaki-maki oleh sekelompok penagih utang karena ia berusaha membantu penyelesaian masalah utang yang terjadi. Video yang memperlihatkan kejadian tersebut mendapat respon dari Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran, ia sangat geram dengan kejadian tersebut. Semenjak kejadian itu, muncul berbagai pertanyaan, salah satunya terkait bagaimana sebenarnya legalitas debt collector di Indonesia?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu kenyataan di masyarakat terkait munculnya debt collector. Berdasarkan data yang diungkapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2022, terdapat kredit bermasalah yang berasal dari kredit perbankan, multifinance, hingga pinjaman online yang mencapai Rp. 179,9 triliun. Besarnya jumlah kredit yang bermasalah tersebut tentu merugikan pihak kreditor atau pemberi utang. Atas alasan tersebut, banyak yang menggunakan jasa penagih utang atau biasa dikenal dengan istilah debt collector.
Hal demikian juga dibuktikan dengan data yang diungkapkan oleh Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) bahwa pada tahun 2023 terdapat sekitar 145.000 debt collector di Indonesia, fakta yang mengejutkan adalah sekitar 1.000 diantaranya sudah diblacklist oleh APPI. Besarnya jumlah debt collector yang diblacklist tersebut sejatinya sejalan dengan banyaknya jumlah pengaduan masyarakat terkait perilaku debt collector yang dibuktikan dengan data dari OJK yang mencatat sebanyak 361 kasus pengaduan sejak Januari hingga bulan Maret 2023. Pengaduan tersebut disebabkan karena pihak debt collector yang menagih utang dengan perilaku kasar seperti memaki, memasuki pekarangan tanpa izin, hingga merusak barang. Oleh karena itu, artikel ini berusaha menjelaskan terkait legalitas debt collector di Indonesia.
B. Pembahasan
1. Asas Legalitas
Dalam hukum pidana, dikenal sebuah asas bernama asas legalitas. Asas tersebut pada intinya menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Hal tersebut juga telah diformal-yuridiskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang saat ini masih berlaku, tepatnya pada Pasal 1 Ayat (1) yang menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Artinya perbuatan kita tidak dapat dipidana jika tidak diatur terlebih dahulu dalam sebuah undang-undang.
Hingga artikel ini dibuat, penulis berdasarkan beberapa sumber tidak juga menemukan peraturan yang secara khusus dan expressive verbis mengatur terkait debt collector. Namun hanya ditemukan beberapa peraturan yang secara tersirat atau tidak langsung mengatur debt collector. Terdapat juga sebuah istilah yang terkenal dalam hukum yakni “jika tidak dilarang, maka hukummnya boleh”. Sejalan dengan hal tersebut, terdapat juga kaidah dalam hukum Islam yang disampaikan oleh Imam Asy Syaukani dalam Fathul Qadir yang pada intinya menyatakan bahwa “Sesungguhnya hukum asal dari segala ciptaan adalah mubah (boleh), sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini”.
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 Tahun 2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PBI 23/2021)
Dalam PBI 23/2021, tepatnya pada Pasal 191 Ayat (1) dijelaskan bahwa:
“Dalam melakukan penagihan kartu kredit, penyedia jasa pembayaran yang menyelenggarakan aktivitas penatausahaan sumber dana dengan penerbitan kartu kredit wajib mematuhi pokok etika penagihan utang termasuk namun tidak terbatas pada:
a. menjamin bahwa penagihan utang, baik yang dilakukan oleh penyedia jasa pembayaran sendiri atau menggunakan penyedia jasa penagihan, dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia serta ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. dalam hal penagihan utang menggunakan penyedia jasa penagihan, penyedia jasa pembayaran wajib menjamin bahwa:
1) pelaksanaan penagihan utang kartu kredit hanya untuk utang dengan kualitas kredit diragukan atau macet; dan
2) kualitas pelaksanaan penagihannya sama dengan jika dilakukan sendiri oleh penyedia jasa pembayaran.”
Pada intinya ketentuan tersebut mengatur terkait kegiatan penagihan kartu kredit atau etika penagihan utang yang sebenarnya kegiatan tersebut juga dilakukan oleh debt collector.
3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP Tahun 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu(APMK) (SEBI 2012)
Selanjutnya melalui SEBI 2012, BI mengatur lebih rinci terkait teknis penagihan yang dilakukan, tepatnya pada Nomor 4 “Ketentuan butir VII.D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut” Poin D “Kerjasama Penerbit APMK dengan Perusahaan Penyedia Jasa dalam Penyelenggaraan APMK” Nomor 4 yakni:
“Dalam bekerjasama dengan perusahaan penyedia jasa penagihan Kartu Kredit, Penerbit APMK wajib memperhatikan dan memenuhi ketentuan:
a. penagihan Kartu Kredit dapat dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit dengan menggunakan tenaga penagihan sendiri atau tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan;
b. dalam melakukan penagihan Kartu Kredit baik menggunakan tenaga penagihan sendiri atau tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan, Penerbit Kartu Kredit wajib memastikan bahwa:
1) tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait dengan tugas penagihan dan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku;
2) identitas setiap tenaga penagihan ditatausahakan dengan baik oleh Penerbit Kartu Kredit;
3) tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok-pokok etika penagihan sebagai berikut:
a) menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan Penerbit Kartu Kredit, yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan;
b) penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan Pemegang Kartu Kredit;
c) penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal;
d) penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain Pemegang Kartu Kredit;
e) penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu;
f) penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili Pemegang Kartu Kredit;
g) penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu alamat Pemegang Kartu Kredit; dan
h) penagihan di luar tempat dan/atau waktu sebagaimana dimaksud pada huruf f) dan huruf g) hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan Pemegang Kartu Kredit terlebih dahulu.
i) Selain memenuhi pokok-pokok etika penagihan sebagaimana dimaksud pada huruf a) sampai dengan huruf h), Penerbit Kartu Kredit juga harus memastikan bahwa pihak lain yang menyediakan jasa penagihan yang bekerjasama dengan Penerbit Kartu Kredit juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan oleh asosiasi penyelenggara APMK.
c. dalam hal penagihan Kartu Kredit dilakukan menggunakan tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan, maka selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b, juga berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) penagihan Kartu Kredit menggunakan tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kualitas macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas kredit;
2) kerjasama antara Penerbit Kartu Kredit dengan perusahaan penyedia jasa penagihan wajib dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
3) Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin kualitas pelaksanaan penagihan Kartu Kredit oleh perusahaan penyedia jasa penagihan sama dengan jika dilakukan sendiri oleh Penerbit Kartu Kredit.”
Pada intinya SEBI 2012 mengatur lebih rinci terkait teknis dan larangan yang berkaitan dengan kegiatan penagihan utang yang dilakukan oleh penyedia jasa penagihan atau dapat disebut juga dengan debt collector.
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan (POJK 35/2018)
Dalam POJK 35/2018, yakni pada Pasal 48 dijelaskan bahwa:
1) “Perusahaan Pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada Debitur.
2) Perusahaan Pembiayaan wajib menuangkan kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk perjanjian tertulis bermeterai.
3) Kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pihak lain tersebut berbentuk badan hukum;
b. pihak lain tersebut memiliki izin dari instansi berwenang; dan
c. pihak lain tersebut memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan.
4) Perusahaan Pembiayaan wajib bertanggung jawab penuh atas segala dampak yang ditimbulkan dari kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
5) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan evaluasi secara berkala atas kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Pada pokoknya POJK 35/2018 mengatur terkait rincian yang hampir mirip dengan SEBI 2012, namun ada beberapa teknis perbedaannya seperti ketentuan mengenai badan hukum, izin, dan sertifikasi yang harus dipenuhi oleh penagih utang atau dalam konteks pembahasan kita kali ini adalah debt collector.
5. Keadilan Prosedural adalah Keadilan yang Substansial
Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas legalitas di atas telah menggambarkan kondisi atau legalitas dari debt collector itu sendiri, namun jika kita perhatikan seksama, hampir semua ketentuan yuridis yang ada berfokus pada aspek teknis atau mengenai prosedur pelaksanaan kegiatan debt collector. Aspek teknis atau prosedur dalam hukum ternyata memiliki tempat yang sangat penting. Hal tersebut sebagaimana buah pikir dari Majid Khadduri dalam War and Peace in the Law of Islam, yakni tanpa adanya keadilan secara prosedural, keadilan substantif hanya akan menjadi teori-teori yang tidak menyentuh realitas masyarakat. Pandangan tersebut menegaskan pentingnya aspek teknis dalam suatu tindakan hukum, salah satunya terkait tindakan debt collector. Adapun jika terdapat pelanggaran dalam hal penagihan utang yang dilakukan oleh debt collector dan terdapat unsur pidana, maka dapat dikenakan pasal dalam KUHP.
C. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh penjabaran di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kehadiran debt collector adalah legal selagi telah memenuhi syarat teknis dalam melaksanakan penagihan utangnya.
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 Tahun 2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP Tahun 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, dan beberapa sumber lain
Oleh:
Naufal Arie Taufik Nurrahman
Kepala Divisi Penelitian, Pendidikan dan Pelatihan Firma Hukum Sahardjo Pejuang Keadilan