Hak Waris Bagi Janin dalam Perspektif Hukum Perdata

Hukum warisan Negara Belanda mengatur begitu komprehensif segala aturan hukum dan bisa dikatakan mendekati sempurna karena mengatur semua tindak tanduk rumusan delik. Semakin majunya zaman dan teknologi tentunya berimbas diberbagai lini kehidupan. Akibat dari kemajuan zaman ini banyak sekali permasalahan yang timbul, salah satunya adalah permasalahan keluarga yang didalamnya ada beragam hal yang berpotensi menimbulkan konflik misalnya pembagian harta warisan.

Berbicara warisan tentunya kita harus jeli dalam hal pembagiannya karena kalau sedikit saja salah atau kurang dalam pembagiannya tentunya kita akan melanggar hak orang lain yang tidak mendapatkan warisan sesuai dengan apa yang menjadi haknya.Oleh karena itu pembagian harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku agar tidak terjadi penyimpangan. Bahkan janin yang masih dalam kandungan dianggap ada dan berhak atas warisan dari kedua orang tuanya.

Lalu Bagaimana Perspektif Hukum Perdata?

Berkiblat pada Pasal 2 dan Pasal 836 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa seseorang yang didalam kandungan dianggap telah ada dan berhak mendapatkan warisan dan yang bertindak sebagai ahli waris seseorang tersebut harus ada ketika warisan itu dibuka.Artinya kendatipun demikian anak yang masih didalam kandungan,tetap dianggap ada(lahir) dan berhak mendapatkan harta warisan dari kedua orang tuanya.

Bagaimana Jika Janin Meninggal Dunia?

Berdasarkan pada pasal 2 KUH Perdata jika janin dalam kandungan seorang perempuan dinyatakan telah meninggal dunia maka dianggap tidak pernah ada,Oleh karena itu hak warisnya jatuh kepada anak yang lainnya.

Bagaimana Jika Ayah,Ibu dan Janin Meninggal Dunia?

KUH Perdata membagi ahli waris menjadi 4 golongan yakni:
Golongan I = suami atau istri dan anak/keturunannya.
Golongan II = orang tua atau saudara kandung pewaris
Golongan III = keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
Golongan IV = paman dan bibi pewaris dari pihak bapak maupun ibu, keturunan paman dan bibi sampai dengan keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Dengan demikian berarti hak warisnya jatuh kepada golongan kedua yakni orang tua atau saudara kandung pewaris.

Bagaimana jika ayah, ibu tidak punya saudara?

Jika ayah atau ibu tidak mempunyai saudara tetapi masih memiliki anak maka harta warisannya jatuh kepada anaknya terlebih dahulu. Namun jika ayah, ibu tidak mempunyai anak, dan tidak memiliki saudara kandung berdasarkan golongan yang telah dipaparkan diatas maka yang berhak menerima warisan adalah golongan dua terlebih dahulu yakni orang tua dari si ayah dan ibu. Namun jika tidak memiliki orang tua maka warisannya jatuh kepada golongan tiga yakni keluarga dalam garis lurus keatas sesudah bapak dan ibu pewaris.

Pembagian harta warisan harus dilakukan dengan seadil-adilnya tidak kurang sedikit bahkan lebih, Harus seimbang dengan apa yang menjadi haknya. Hukum mengatur secara terperinci mengenai hak waris agar nantinya dikemudian hari tidak terjadi peristiwa yang tidak inginkan dan mencegah dari segala bentuk ketidakadilan.

Oleh :
Nur Jamil
Mahasiswa Hukum UIN Jakarta
Asisten Advokat di Sahardjo Pejuang keadilan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *