Hukum Penelantaran Istri oleh Suami


(Penulis: Tiarma Simanjuntak)

Sebelum membahas hukum terkait penelantaran istri oleh suami, kita harus perlu tau bahwa defenisi Penelantaran adalah tindakan melalaikan atau mengabaikan tanggung jawab terhadap seseorang yang seharusnya diurus atau dipelihara, hal ini terjadi dalam konteks seperti, penelantaran anak, istri, orang tua dll. Dengan hal ini penelantaran merupakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, yang dimana para korban berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan bantuan dari para pihak yang berwenang.

Nah, penelantaran ini lah justru yang sering terjadi di dalam rumah tangga yang sangat sering di lakukan oleh para suami terhadap istrinya. Penelantaran para istri oleh suami merupakan salah satu permasalahan dalam rumah tangga, dimana hal ini kerap terjadi di dalam masyarakat khususnya di negara Indonesia. Jika kita lihat, Penelantaran istri oleh suami adalah bagaikan luka yang sangat mendalam di tengah rumah tangga, bukan hanya fisik yang terluka, hati dan mental pun ikut tercabik-cabik.
Di balik kepiluan ini,terdapat hak-hak yang dilanggar dan hukum yang siap menegakkan keadilan

Sebenarnya masih banyak faktor-faktor yang melatarbelakangi maraknya penelantaran istri di Indonesia yang terjadi secara kompleks, berdasarkan stigmastigam budaya yang masih tertanam kuat dalam masyarakat yang masih merugikan perempuan ataupun seorang istri. Penelantaran ini terjadi dapat disebabkan oleh berbagai faktor ekonomi, sosial, budaya maupun perselisihan yang terjadi di dalam rumah tangga. Penelentaran ini sangat berdampak negatif bagi istri, baik secara fisik, mental, maupun secara emosional

1. Faktor Ekonomi:
➢ Kemiskinan: Beban hidup yang berat dan penghasilan suami yang tak menentu dapat mendorong suami meninggalkan tanggung jawabnya.
➢ Kehilangan Pekerjaan: Situasi ekonomi yang sulit, seperti kehilangan pekerjaan, dapat memicu stres dan mendorong suami mencari jalan keluar yang salah, termasuk menelantarkan keluarga.

2. Faktor Sosial dan Budaya:
➢ Patriarki: Budaya patriarki yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, terkadang melahirkan egoisme dan rasa superioritas. Istri dinomorduakan dan hak-haknya diabaikan.
➢ Tradisi: Tradisi dan kepercayaan turun-temurun yang keliru, seperti anggapan bahwa istri tak berhak bekerja atau memiliki penghasilan sendiri, menghambat kemandirian mereka. Ketergantungan finansial pada suami membuat mereka rentan terhadap penelantaran dan eksploitasi.

3. Faktor Permasalahan Rumah Tangga:
➢ Kurangnya Komunikasi: Komunikasi yang buruk dan minimnya rasa saling pengertian dapat memicu keretakan dalam rumah tangga.
➢ Pertengkaran: Pertengkaran yang tak berkesudahan dan ketidaksetiaan dapat mendorong suami meninggalkan rumah tangga.

4. Faktor Hukum yang Kompleks:
➢ Proses hukum yang panjang dan berbelit-belit: Hal ini membuat banyak istri enggan menempuh jalur hukum karena takut memakan waktu dan biaya yang besar.
➢ Stigma sosial: Takut dihakimi dan dicap sebagai wanita yang gagal menjadi alasan bagi beberapa istri untuk bertahan dalam pernikahan yang tidak sehat.
➢ Ketergantungan pada suami: Bagi istri yang tidak memiliki penghasilan sendiri dan belum memiliki tempat tinggal yang mandiri, meninggalkan suami berarti kehilangan tempat tinggal dan sumber nafkah.
➢ Demi anak: Tak sedikit istri yang memilih bertahan demi anak, dengan harapan situasi akan membaik di masa depan.
➢ Ketakutan akan masa depan: Istri yang belum memiliki keterampilan dan persiapan finansial yang memadai untuk hidup mandiri, merasa takut akan masa depan jika mereka meninggalkan suami.

Penelantaran bukan hanya menyengsarakan secara finansial, tetapi juga menorekan luka yang mendalam. Yang bisa membuat depresi, kecemasan, dan rasa tidak berharga menghantui para istri, tidak jarang para istri dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Karena bertahan dalam pernikahan yang hampa atau memulai hidup baru dengan segala konsekuensinya.

Penelantaran istri oleh suami dikecam keras oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah, orgnisasi, masyarakat spil, dan masyarakat luas. Hal ini dikarenakan Tindakan tersebut melanggar hak-hal perempuan dan merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Jika kita lihat, Sistem hukum di Indonesia masih memiliki celah yang memungkinkan suami untuk memanipulasi dan menjebak istri dalam pernikahan yang tidak sehat, masih terdapat stigma-stigma yang merugikan perempuan, bahwa perempuan itu lemah dan harus taat kepada suaminya, apapun yang dilakukan oleh sang suami kepada istri. Kita bisa lihat dalam beberapa hal:
1. Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan mengatur tentang talak, di mana suami berhak menjatuhkan talak tanpa persetujuan istri di pengadilan agama. Hal ini memberikan kontrol yang besar kepada suami dan membuat istri rentan terhadap perceraian sepihak.
2. Pasal 11 UU Perkawinan tentang alasan perceraian, meskipun telah memasukkan penelantaran sebagai salah satu alasan, namun pembuktiannya masih tergolong sulit dan membutuhkan waktu yang lama.
3. Kurangnya edukasi dan pemahaman hukum bagi perempuan tentang hak-hak mereka, membuat mereka mudah dimanipulasi dan dirugikan oleh suami.

Sebagai dasar hukum akibat penelantaran istri oleh suami diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu,“undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU PDKRT) pasal 49 mengatur tentang pidana bagi suami yang menelantarkan istri, pidana yang dapat dijatuhkan adalah penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00” Selanjutnya di atur dalam “Komplikasi hukum islam (khi) pasal 55 mengatur tentang hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suami. Suami wajib memberikan nafkah kepada istri, baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu, jika suami menelantarkan istri dan tidak memberikan nafkah, istri dapat mengajukan gugatan cerai kepada pengadilan agama”

Namun, Solusi tak berhenti di dalam undang-undang saja, kita juga melihat beberapa Solusi dalam penanganan ini:
1. Meningkatkan edukasi dan pemahaman masyarakat tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.
2. Memberikan pelatihan pranikah bagi calon suami dan istri tentang membangun rumah tangga yang harmonis dan bebas dari KDRT.
3. Menyediakan layanan konseling dan pendampingan bagi pasangan suami istri yang mengalami konflik rumah tangga.

Dan untuk Memutus rantai penelantaran istri membutuhkan upaya komprehensif dari berbagai pihak:
1. Penguatan edukasi dan pemahaman hukum bagi perempuan: Memperkenalkan hak-hak perempuan dan cara-cara melindungi diri dari KDRT, termasuk penelantaran.
2. Penyederhanaan proses hukum perceraian: Mempermudah dan mempercepat proses perceraian bagi korban penelantaran, serta memberikan pendampingan hukum yang memadai.
3. Peningkatan akses terhadap layanan perlindungan perempuan: Memperbanyak dan memperluas jangkauan layanan konseling, bantuan hukum, dan tempat penampungan bagi korban KDRT.
4. Perubahan mindset masyarakat: Melawan stigma dan diskriminasi terhadap perempuan, serta membangun budaya yang menghargai kesetaraan gender dan saling menghormati dalam pernikahan.

Kita tau bahwa penelantaran istri oleh suami juga merupakan masalah yang serius yang bisa berdampak negatif kepada istri dan anak-anak. Maka dengan hal itu, ada beberapa Solusi pencegahan dan penanganan bagi korban istri yang ditelantarkan oleh suami.yaitu:
a) Peningkatan edukasi dan pemahaman tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender yaitu Diperlukan edukasi yang berkelanjutan dan menyeluruh untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai program edukasi, seperti seminar, workshop, dan kampanye publik.
b) Pembinaan ketahanan keluarga yaitu melakukan Program pembinaan ketahanan keluarga dapat membantu pasangan suami istri untuk membangun komunikasi yang efektif, menyelesaikan konflik secara damai, dan meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap keluarga.
c) Penyediaan layanan konseling dan mediasi: Layanan konseling dan mediasi dapat membantu pasangan suami istri untuk menyelesaikan masalah pernikahan mereka dan mencegah terjadinya penelantaran.

Adapaun cara penanganan penelantaran istri oleh suami adalah:
a) Pelaporan kepada pihak berwenang: Istri yang menjadi korban penelantaran dapat melaporkan kasusnya kepada pihak berwenang, seperti Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) di kantor polisi terdekat atau Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA) di daerah setempat.
b) Pengajuan gugatan cerai oleh Istri yang menjadi korban penelantaran dapat mengajukan gugatan cerai kepada suaminya di pengadilan agama.
c) Pengajuan permohonan nafkah dimna Istri yang menjadi korban penelantaran dapat mengajukan permohonan nafkah kepada suaminya di pengadilan agama.
d) Mencari bantuan hukum terhadap Istri yang menjadi korban penelantaran dapat mencari bantuan hukum dari Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang disediakan oleh organisasi advokat atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang bergerak di bidang perempuan dan anak.
e) Pemanfaatan layanan rehabilitasi dimana Istri yang menjadi korban penelantaran dapat memanfaatkan layanan rehabilitasi untuk membantu mereka pulih dari trauma dan mendapatkan dukungan psikologis.

Penelantaran istri oleh suami merupakan Tindakan yang melanggar hukum dan harus ditindak tegas penting bagi masyarakat untuk memahami hak-hak perempuan dan bernai melawan segala bentuk KDRT. Dengan hal itu, pemerintaj dan organisasi terkait juga harus perlu bersinergi dalam upaya pencegahan dan penanganan penelantaran istri. Untuk itu mari kita melindungi hak-hak perempuan, lawan segala bentuk KDRT, dan mari ciptakan rumah tangga yang kokoh dan penuh kasih sayang.

 

Catatan :
Gabung di WaG Pejuang Keadilan : https://chat.whatsapp.com/CAlk6IIXaYi2D9Zywm45I4

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *